Selasa, 15 November 2011

Mencari Jati Diriku


Pada seorang wanita yang Kau pilih untuk menjagaku,
Engkau memberinya segumpal daging yang kian lama membentuk sebuah tubuh,
lalu, Engkau tiupkan ruh ini ke dalam tubuhku sejak aku dalam kandungan..
Setelah 9 bulan lamanya, aku lahir ke dunia ini dengan jerit tangisku dengan genggaman tanganku yang keras.
seraya dalam hati “aku ada dimana? Aku butuh perlindungan, ya Allah”
sesaat itu pula, ku merasakan sesosok bidadari yang tersenyum di samping sedang memelukku dengan hangatnya. “ya Allah, apakah ini bidadari yang Kau kirimkan untuk menjagaku ketika ku tersesat dalam luasnya dunia, ketika ku ketakutan dalam kerasnya dunia, ketika ku mencari tempat berlindung untuk mencurahkan isi hatiku dalam suka ataupun duka? Sungguh, bidadari ini sangatlah cantik ya Allah, hatinya begitu lembut, hingga aku dapat merasakannya ketika ia menangis tersenyum sambil memelukku. Terima kasih ya Allah atas pemberianMu ini. Aku akan memanggilnya dengan sebutan Ibu. Lalu, di sampingku ada sosok pria yang sedang tersenyum melihatku. Dengan tubuhnya yang gagah, ia mencoba menggendongku di peluknya. Ya Allah, aku merasa tenang jika sedang dalam pelukannya ini. Terima kasih atas semuanya ya Allah. aku pun akan memanggilnya dengan sebutan Ayah.”
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, ku dapat melihat indahnya dunia dan kasih sayangnya sebuah keluarga, terutama Ibu. Ia yang selalu mengorbankan dirinya demi aku, demi sesuap nasi dan susu, ia berkorban bekerja siang dan malam, tentu saja Ayah pun tak pernah letih membanting tulang demi aku, anaknya. Tetapi, dengan sibuknya mereka bekerja, mereka pun tak pernah melupakan aku. Aku tak pernah kekurangan kasih sayang yang mereka berikan padaku. Mereka tak luput memberikan aku nasihat-nasihat jika aku salah dalam perilaku yang kulakukan.
Perlahan tubuhku berkembang, tentu saja dengan berkembangnya tubuhku, sifat dan sikap ini mulai terlihat. Pendiam, kuper, sensitif, lemah, kurang pintar, selalu mengalah, dan tak bisa bergaul dengan yang lain. Tetapi Ibu yang sudah mengerti sifatku, ia tak hentinya memberiku semangat. Dengan wajahnya yang tersenyum, ia terus berusaha agar aku harus ceria, bisa bergaul dengan teman lainnya, tegar, kuat, dan tak putus asa. Aku tak henti-hentinya mengucap Hamdallah, beterima kasih pada Engkau, ya Allah.
Kini, aku sudah menginjak dewasa dan sedang merantau ke kota orang untuk pendidikan kuliahku. Tetapi, sifatku yang dahulu masih tetap sama, walaupun ada beberapa yang berubah. Disini orang-orangnya tak seperti di kampungku, yang simpati, ramah, murah senyum, menghargai hak dan kewajiban orang lain, dan segala hal yang jauh berbeda setelah ku tinggal di kota.
Jujur, aku tak betah jika terus berada disini, tapi ku tak bisa mengatakannya pada orang tuaku, karena pasti mereka akan bersedih jika mendengarnya. Disini, aku merasa tak dihargai, karena rata-rata sikap mereka yang individualistis. Aku tahu, bahwa kita tak boleh mengeluh atas apa yang kita miliki, tapi jika ini membuat hatiku resah, apa boleh buat ya Allah??
aku merasakan bahwa mereka memanfaatkan sifatku ini. Mungkin jika satu atau dua kali, aku masih bisa memaafkannya, tetapi jika berkali-kali apakah aku tak ada kesempatan protes ya Allah?? mungkin aku tak pernah menunjukkan kemarahanku,selalu mengalah dan selalu menurut atas yang mereka perintahkan. Itu semata-mata karena aku menghargai mereka sebagai teman, tetapi jika hal ini terus menerus dilakukan, ku tak sanggup ya Allah, sungguh ku tak sanggup. Apakah harus ku mengubah sifatku ini menjadi seperti orang lain agar mereka mau menghargai aku dan tak memandang sebelah mata terhadapku, ya Allah??
ya Allah, tolong Engkau tunjukkan bagaimana aku harus bertindak. Aku akan selalu meminta perlindunganMu ya Allah. Amin yaa Robbal Al-Amin..

Senin, 07 November 2011

Ketika Kasih Sayang mulai Luntur

“eh,eh,,ini lucu banget gelangnya.. menurutmu,gimana zi, yan?” sambil mengambil dan mencobanya, Diah kayanya seneng banget deh. “iya, lucu diy. Trus, ini talinya juga bisa dilonggarin, kan? Takutnya kalo dipake sama aku, ga muat lagi. Hehe,,. Kamu mau beli diy?”. “iya, qu mau beli. Asalkan Uzi nd Dian juga beli ya. Biar kita samaan gitu. Ini kan sbagai tanda persahabatan kita. Gimana?”. Aku dan Dian saling tatap mata lalu senyum tanda setuju. Setelah puas memilih-milih gelang yang akan dibeli, kami pun pulang ke rumah masing-masing. Esok harinya, gelang itu pastinya sudah kita pakai ke sekolah. Semenjak bertemu mereka, rasanya ku sudah lama mengenal mereka, hingga aku tau kebiasaan dan sifat masing-masing dari mereka.
Dari sejak kelas 1 sampe kelas 3 SMA, kita selalu bersama. Dan kita pun sudah akrab pada masing-masing keluarga kita. Belajar bareng, bercanda bareng, sampe nangis pun kita bareng, jika salah satu dari kita lagi sedih. Hal-hal yg ga’ mungkin ku lupain slamanya yaitu saat ku sedang bersama mereka. Karena walaupun Diah nd Dian sifatnya agak egois, itu tak menjadi masalah buatku. Karena ku tau, walaupun mereka seperti itu, tapi mereka sayang sama aku. Begitu pula aku, sayang banget sama mereka.
tingkah konyol kita yang aneh saat di foto, terutama kedua sahabatku.
senyuman ini yang membuat ku rindu pada keakraban kita dulu.. :)

            
Surat kelulusan pun datang pada saat kita selesai menjalani UN dan UAS. Alhamdulillah, kita bertiga lulus semua, walaupun aku sempet sedih, karena Diah dan Dian bisa bareng lagi di Universitas yg sama di Jakarta Utara. Sedangkan aku, diterima di Universitas di Jakarta bagian Timur. Walaupun sama-sama di Jakarta, tetap saja jauh, begitu kata batinku.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan kami masih tetap sering berkomunikasi walaupun hanya sekedar telpon dan sms. Berbagi cerita suka dan duka kita lalui bersama. Rasa kangen yang meluap akhirnya tersampaikan juga ketika kami sedang berada sama-sama di kampung halaman.
Tetapi, pada suatu saat Diah dan Dian sms aku curhat tentang kekesalan mereka terhadap sifat sahabatnya yang sekarang mulai berubah. Diah kesal dan menangis saat cerita tentang Dian yang begini, Dian pun cerita tentang sifat Diah yang begitu. Pada saat itu aku cemas dan tak tau harus percaya pada siapa. Keduanya sahabatku dan tak mungkin ku hanya memihak salah satu di antara mereka. Aku sudah mencoba menenangkan hati keduanya dan mencari jalan keluarnya, tapi keduanya tetap saja tak mau mengerti dan menurut mereka masing-masing, pendapat merekalah yang benar. Ya Allah, aku rasanya ingin menemui mereka dan ingin bicara langsung pada keduanya, tapi itu semua tak mungkin, karena aku pun disini masih banyak tugas kampus yang harus diselesaikan. ketika ku berbicara dengan mereka, meminta saling memahami dan mengerti satu sama lain, malah mereka bertengkar di depanku. Pada liburan-liburan berikutnya, semua tak seperti dulu. Aku hanya bisa bertemu dan saling rindu hanya pada masing-masing dari mereka. Hari ini ku dapat bertemu Dian, hari berikutnya ku bertemu Diah. Tapi, kami tak dapat berkumpul bertiga seperti dulu lagi. Sungguh, hal ini membuatku kecewa sangat dengan sikap mereka seperti itu. Apa yang harus ku lakukan sekarang?
aku ga’ mau kita sendiri-sendiri seperti tak mengenal satu sama lain, sobat..
kalian lah yg membuat diriku setegar ini
menjalani suka dan duka kehidupan.. :)

Aku sangat merindukan kalian yang dulu, yang ceria dan tak pernah bertengkar sehebat ini. Apa mungkin kita akan selamanya begini, sobat? Aku tak bisa, sungguh.  Apakah kalian sanggup jika kita terus begini? Tapi, ku akan terus mencoba buat kalian bersatu kembali. Bagaimana pun caranya, aku akan berkorban demi kita. Aku, Dian dan Diah.